Selasa, 23 Maret 2010

aku seperti selesai meneguk air dan mencelupkan kepala ke telaga jernih Rumi di Matsnawi Ma'nawi! Setelah demikian jauh berjalan, dekil, dan berkeringat. Ada kesejukan dan kesegaran di setiap kuncup katanya. Imajenasiku menuju suatu makna yang sedemikian ofensif menelikung batin. Oh, Rumi, lihatlah aku menari, memutar keindonesiaan yang koyak ini!

Sesiapa yang melangkah ke arah yang takberarah/Para budiman itu menoleh ke arah yang takberarah/Setiap merpati yang melesak pada mazhab/Merpati ini berpihak pada yang takberpihak/ Kita bukan unggas udara juga bukan piaraan/Bijian kita adalah biji tanpa biji/Sedemikian luas kehidupan (akhirat) kita Sehingga terkoyak kain (jasad) pada pundak (dunia) kita
{Rumi, Matsnawi Ma’nawi, Daftar-e Panjum, bait 350-353}

jalan profetik yang ditempuh para penyepi adalah kebersahajaan mengelola bebunyian yang kemudian diterjemahkan dalam percakapan hati.

Membingkai perbincangan atman dari "aku" terdalam inilah proyeksi sunyata, kemutlakan yg hidup. Tanpa suara tanpa api adalah hakekat menerima suara dan cahaya sebagaimana mestinya sebagaimana adanya. Tidak mengadakan dan meniadakan. Bukan pula "usaha" atau "pengingkaran".

hari ini manajemen keindonesiaan hati kita sedang diuji, tapi ketahuilah, di semua orang yang hatinya mengendonesia, terpetakan ada kota ada desa di dalamnya, ada kemakmuran sekaligus kemiskinan daerahnya, maka bermukimlah di hati yang permai, yaitu hati yang berani bersikap dan berpihak! Bukan hati yang kota tapi berkata desa. Katakanlah selaras dengan hatimu.

sekiranya problem hidupmu mengecambah sebagaimana berbatangnya buah kacang hiaju yang disirami tiaptiap sore, disitulah pertanyaan sekaligus seruan mengemuka; "pertanda kedewasaan!" Sebab hidup memang semakin tua semakin sulit kawan.

sebab petualangan itu, mencari sunyi. Jika berpetualang mencari hiburan maka ketidakkrasanan yg akan membelenggu. Bersunyi itu mencari pencerahan, maka tersebutlah dia sebagai pendusta ketika mengaku sudah tercerahkan tapi tak pernah menempuh jalan sunyi. Adakah desa kita yg bernama Indonesia ini sedang menjadi jalan sunyi?

sejalan dengan pikiran kita atas perjalanan pulang ini, sawah mulai dg hijau padi menghampar, di hembusan semilir angin ladang ini pula kita pernah membingkai percakapan hati. Bukankah telah terbilang cerita tentang batinku yg remuk oleh berbagai penolakan, kini kau kabarkan pujaanku telah benar- benar lepas dari kesejatian? Mari melaronkan diri mengejar lampu.

pada sebuah ketakutan yang terbagai atas 4fase kemanusiaan itu, yang paling ditakutkan sebenarnya adalah yang paling berani dilanggar dan esensi kulminasi (tertinggi atas kemukminan). Seberapa berani kita melawan takut, sebesar itulah kenikmatan kita atas sebuah keberhasilan membahagiakan hati. Tidak ada ketakutan sebelum kita mengalami kausalitas penderitaan maka, melepas takut berarti melepas belenggu penderitaan.

mematung di sebuah balkon, takzimku terpusat pada langit barat yg kuning sore ini, mendung menghitam ke arah timur hingga deras hujan menimpa kaca nako. Merasakan buliran pisau air itu, tasbihku mengucur sederas percikan dan ketirisan pikiran yang basah. Hujan sore ini aku berdoa, wahai kekasih, kuikat mendung dan kuta...rik keemasan langit barat itu, untuk plafon kamarkamar santri di desa kami.

mulanya adalah duka dan pada mulanya adalah tumpukan keperihan.Demikianlah tradisi setiap pesantren& para pembabat alas.Hidup yg dimulakan dg kebahagiaan akan dibuntukan masalah2 sepele.Maka aku nasehatkan kepada kalian,anak2 zaman.Keraslah melatih disiplin diri &menggembleng jiwa pencari,sebab titik tertinggi kebahagiaan ada di ujung jalan itu. Jika ingin bahagia setiap sore hari,bekerja keraslah tiap2 pagi.

Kalimat yg saya Posting di Page FB "Komunitas Sastra Profetik"
06 Februari jam 14:47

0 komentar:

Posting Komentar