Jumat, 19 Maret 2010

Kiblat Penyair

04.44
0

Epik I 2006 (Tentang Bibir)

"Buah aren ini sebagai pepeling yang mampu menghentikan minum kopiku," katanya, mengomentari kolak menu berbuka. Aku hanya mampu melihatnya takzim sambil merokok, entah sudah yang keberapa batang.

"Oya, ini kuberikan kau tongkat bergagang emas," ungkapnya serupa guru sufi tua.
Dadaku bergetar hebat sebelum kursiku tersungkur. Kafe dimana pernah dilukiskan penyair kami dengan bulan pun rebah di mejanya. Dan penyairku yang baru datang berkunjung menaiki pesawat senja, begitu cakap kalimatnya mengurai eloknya potensi kota.

Setelah menyeruput betapa harum dan nikmatnya kopi Kalianda. Segera ia ralat kalimat tentang kesempurnaan lezat kenyalnya kolang- kaling kami.
“Sungguh! Kotamu begitu kaya kudapan lezat.” Senyumnya.

Lalu kami menuju jembatan layang Panjang, mereguk kenikmatan
legitnya buah durian.

Selepas isya kami menyantap nasi dengan pindang dan sruit asli Kota Bumi. Berhamburanlah puja puji.

“Jika kau masih punya waktu, ke arah pantai sana, kita bakar kerapu, dengan senang hati aku mengantarmu,” kataku menunjuk tambak dan kerambak. “ Tempat itu, paling romantis untuk menyantap petis di atas perahu, tempat dimana masih dengan mudah mendapati kepiting batu sebesar kepala atau memancing rajungan hanya dengan tali rapia. Pulau itu masih dalam kecamatan Punduh Pidada.

Oh ya, jika kau ingin udang kita harus ke pinggiran laut Kota Agung, arahnya agak jauh ke sana. Kupastikan kau terbengong puas dengan rasa dan harga. Aku yakin puisimu mampu mengucur seperti liur.”

Epik II 2007 (Negeri Penyair)

"Lurus saja terus!" tegasnya, ketika akan kubelokan setir selagi ada tempat parkir.
Semua orang pahamlah kiranya di Jakarta, begitu sulit mencari tempat untuk parkir.
"Kita berbuka di warung pojok TIM dengan teh poci saja, yang jelas mampu ingatkan pada peladangan yang baru diipuk petani, aku sudah rindu aroma lumpur sawah kampungmu. Aku dirundung kangen wangi kembang kopi, di ruang para pengais gagasan itu aku mudah membawa kotamu dalam batinku." Kata penyair cantik dengan tetap menatap kosong.

Aku heran; bukankah yang mengajak berbuka ini aku, kenapa kau paksakan tempatmu? Sedemikian egoiskah engkau wahai penyair! Tidak paham kau rupanya. "Kau turun di sini saja, naik taksi atau tetap di mobil, aku mau berbuka dengan es jeruk kelapa." Kataku berganti memaksa kehendak di tikungan Senayan.

Jangan pernah berjalan bersama penyair, jika kau tak berani melawan perintah. Sebab puisi terindah adalah kulminasi pelanggaran. Begitu pernah dikatakannya. Sampailah kedai aku dan penyair cantik itu, berbuka bareng. Lalu kami mesra bicara tentang keindahan- keindahan pelanggaran yang kemudian kami tertawakan setengah bodoh. Ya, selalu tertawa setengah bodoh itulah hidup sang penyair.

Di kota yang panas berlanjutlah ceritaku tentang hikayat kampung;

“bayi bayi yang terlahir dari kampung kami
tangisan pertamanya adalah puisi
belajar bicara dan permulaan jalannya adalah sajak
kampung kami, semua orangnya pandai bebandung
petani, buruh, karyawan, pedagang, pelacur, pegawai, pejabat, penjahat, kiyai, wartawan, pendeta, biksu, pedanda, nelayan, pengusaha, tekhnisi, akademisi, penganggur, penjudi, tengkulak, rentenir, juragan, birokrat, tekhnokrat,
berbaur melampung di kehidupannya
dan segala macam profesi orang kampung kami ketika merantau disebut pujangga. Tersebutlah kampung kami sebagai negeri puisi, pemukiman para penyair.”

Tertawa kami sambil serempak berkata; “Jangan pernah berjalan bersama penyair, jika kau tak berani melawan perintah. Sebab puisi terindah adalah kulminasi pelanggaran.” (ha.. ha…lepas bebas tawa kami)

Wajahnya yang cantik menatapku, lalu sendu sekali penyair cantik berkata; “jika saja aku terlahir dan mukim di kotamu, mungkin aku sudah jadi penyair besar ya? Betapa tololnya aku yang baru sadar dengan keinginan yang binal, aku mau tinggal di rumah panggungmu, apa dulu kau sebut, Nuwo Sesat? Yah, setahun lagilah setelah selesai sarjana.”


Epik III 2008 (Estetika Pantai)


Memandang dari pucuk Pesagi ini lurus ke arah barat daya. Ketemu sketsa wajah urban yang melengkungi katulistiwa, serupa bianglala di pagi hari. Terbentuk pula siluet hatihati kita, tepat di sana, di arah barat daya. Jika kau berpaling ke timur, barisan orang ditrotoar mengeja dengan tekun arah barat daya. Meski dari timur semua bermula. Dalam kata sastra tak ada arah selatan atau pun utara, semua berkiblat. Timur atau Barat, Lampung atau Jakarta.

Berdiri di timur, aku hanya ingin bersamamu lagi, memandang setiap arah dengan waktu, seperti keindahan pantai siang hari yang dipaksa mentaati pariwisata. Yang hampir semua, dari Krui sampai Batang Hari pernah kita kunjungi

“Ketaatan pada pariwisata itulah perompak kecantikan kesejatian seni pantai,” katamu suatu senja, “padahal kami, yang kau sebut orang ibukota dan kaya, mencari keaslian berapapun biayanya. Pantai di negerimu, luar biasa indah! Pahamlah aku kenapa tidak terkenal dan sepi di hari biasa, sebab karcis dan penjaga gerbang yang wajahnya merongos itu memperlakukan duka pada setiap teluk estetisnya!” Hemm, penyair cantikku bersabda seperti orang dinas saja.

Di balkon lantai tiga aku berkata;
“lihatlah dari jendela ini pohon itu
nampak pendek bukan?
padahal itu setinggi enam belas kaki.
daunnya terus ditiup angin,
menggoyang.
membawa masa bermain kanak-kanak di kampung.
selalu saja, rutin setiap sore aku memandanginya.
mirip rindangnya pohon trembesi di ujung jalan Pangeran Antasari, perempatan tempat menunggu para pejalan
untuk pergi ke Bakauheni. Penuh rekuh, pepohonan dan kenangan kampung kecilku, yang esok kita kunjungi adalah puisi. Tepat dimana orang dan burung melagukan sagata. Pun lidah fasih para minan sesikun melarang kita bugundang.”

selenguh apa uapanmu itu tetap saja seperti bau tanah basah usai gerimis
sekeras apapun sendawamu, tetap saja membuatku tahan duduk menyetir sebagai pengantar. Berkunjung kagumi keindahan alam kami.

Epik IV 2009 (Tarikat Kesunyian)

oh, tumpukan hari yang letih
datanglah pengharapan panjang dari jalan-jalan berlubang.
Sepanjang Way Panji- Campang Tiga,
melewati Napal sebagai pekon para petapa.
Sebagai pencari, pernah pula kita tempuh jalan,
dari Gayam ke Simpang Lima,
dari Jabung ke Gunung Pelindung ke Sukadana.
dari Sekampung ke Metro ke Bumi Ratu Nuban

Melingkar kotakota, melintas desadesa, membawa segores luka muda. Mengitari Menggala dan ratapi kedangkalan sungai Tuba. Juga pernah kita daki Rajabasa dan Pesagi, menekur di pucuk pada batu tengah danau gelagahnya. Yang penuh warahan mistis itu, tempat pertama kali kau siapkan kumpulan manuskrip Umpu Ngegalang Paksi. Lalu betapa khidmat kau terpejam di Puncak Sukarami, Liwa, makam Umpu Bejalan Diway.

Ah, cinta telah menyigi kedirian.

Percayalah, aku selalu mencintaimu, seperti terjaga menunggu adzan subuh!
Cinta itu serupa sayupsayup tarkim dari surau di kaki gunung Rajabasa. Maka kupendam rasa meski sakit. Sesakit lerenglereng gunung kami yang dibakar dan dibabat untuk menanam padi. Ketahuilah, aku tetap mencintaimu, sebagaimana yatimpiatu rindu bapak-ibunya nyanyikan lagu pengantar tidur. Meski tak kujawab tanya dan tidak terucap kata.

aku akan tetap mencintaimu seperti anak perambah yang berjuang dengan berani mencangkul tradisi perawatan hutan kami.

Meskipun sekarang, nalar kami mirip kebun kopi dan kakau yang meranggas pada musim kemarau

Aku mencintaimu tanpa ungkapan dan pengetahuan. Sengaja kurawat, biarlah aku setia menunggu adzan subuh tanpa suka tanpa duka.

Sari, demikian pernah kau sebut nama pada setiap ujung karya, lekaslah pahami kelanjutan hidup kita yang semakin tua, demikian kukata sebulan sebelum kau tiada.
letih sudah kulukis kenang sisa perjalanan kita, bukit-bukit yang dikeruk tengkulak itu sudah lama mengaduh.

Sekedar lamat, tafakur, aku terus mengingat.

Di sepanjang pantai Pesisir Selatan, kita pernah memfundamenkan hati.
Bermotor di bening pasirnya sambil bertukar kunyahan jagung bakar
Sari, kau ingat bebatuan dan rerimbun pohon jati pada ruang kehampaan itu dulu, di wisata batu Granit yang juga lintasi kebun karet kebun karet Tanjung Bintang? Tempat kita mengampar samak, menggelar permusyawaratan batin. Berdiskusi sepanjang daun untuk khutbah nikah.

Mengingat itu semakin tipis petualangan jiwa keriput ini
Kayu nangka pepadun di lukisan kata kian luluh, kiranya tak ada waktu lagi terwujud mimpi kita menikah di atas Gajah, lalu ke menara siger untuk mengintip kapal- kapal. Bermalam di Way Muli menikmati gunung krakatau ketika pagi sambil menyeruput kopi Kalianda yang kita gemari dalam satu cawan yang sama warna, wahai Sari. Penyairku yang cantik. Air mataku jatuh, sebelum kita dimandikan air terjun Way Lalaan.

Tarikatku menaiki kesunyian dan mengendarai zaman yang kian lapuk. Sambil berharap ada pengganti Sari. Penyair cantik yang datang ke Lampung di tepi hari. Berniat selesaikan trilogi kelampungan yang elok

yang mangkat sebelum satupun mimpi bersama kami tercipta.

Lampung- Jakarta, 2006-2009

Puisi karya Endri Y ini termasuk nominasi di Krakatau Award 2009

0 komentar:

Posting Komentar