Selasa, 23 Maret 2010

Hari ini, tepatnya tanggal 22 Maret 2010, sudah dianggap sebagai Hari Air Dunia. Keputusan ini diambil berdasarkan United Nations Conference for Environment and Development (UNCED) dalam konferensinya di Rio de Janairo pada tahun 1992. Penetapan ini dimaksudkan untuk mengingatkan dan menyadarkan masyarakat dunia akan makna dan pentingnya air sebagai bahan dasar keberlangsungan hidup semua makhluk serta peringatan akan semakin langkanya sumber-sumber air yang layak, baik jumlah atau kualitasnya.

Ditinjau dari sudut teologi, semua agama berkeyakinan bahwa air merupakan unsur yang terlebih dahulu ada sebelum kehidupan di bumi tercipta. Air sebagai kebutuhan hidup adalah aksioma. Lebih dari 75% tubuh manusia terdiri dari air.
Air merupakan asal sekaligus sumber kehidupan di alam semesta. Selain sebagai asal dan sumber kehidupan (fungsi biologis), air mempunyai fungsi sosial religius juga yakni, untuk membersihkan dan mensucikan tubuh dan pakaian dari kotoran dan najis, secara harfiah maupun maknawiah.

Hampir semua pembahasan jurisprudensi dalam agama, selalu dimulai dengan pembahasan tentang air dan peran air bagi penyucian diri untuk sarana ibadah. Meski dalam kadar dan takaran tertentu air sangat dibutuhkan, tetapi dalam kondisi dan volume tertentu pula air bisa sangat membahayakan kehidupan. Maka kesadaran akan pentingnya makna air, nilai, pengelolaan, sekaligus daya yang dikandungnya perlu dijalankan sesui perencanaan sebagaimana orang menjalankan perintah agama. Penuh keseimbangan atau tawazun.

Semua ibadah agama, memerlukan air untuk prosesi atau pun proyeksi pelaksanaanya. Semua ajaran agama- agama yang diakaui di Indonesia menempatkan air dalam kerangka atau pun simbol ritualnya, baik sebagai alat atau bahkan subyek peribadatan. Dalam islam, fungsi air bukan sekedar untuk thaharah atau bersuci saja. Di surga (alam akherat) pun, fungsi air ternyata masih sangat penting. Ada sekitar 35 ayat dalam Al- Qur’an yang merupakan gambaran tentang surga dengan air sungai, seperti terdapat dalam surah Al Baqarah ayat 25: "Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan beramal salih, bahwa sesungguhnya untuk mereka itu surga yang mengalir air sungai di bawahnya. Selain sungai, ada sekitar 15 ayat dalam berbagai surah yang menggambarkan surga dengan mata air

Sementara itu, dengan Tri Hita Karana, pemeluk agama Hindu meyakini bahwa untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia ini diperlukan keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan (palemahan) termasuk air. Dalam siaran agama Hindu di http://www.peradah.com, dijelaskan hakekat air adalah benih pertama penciptaan alam semesta. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Veda Smrthi BAB. I Sloka 8 dan 10; ”So Bhidhya ya sarirat/ Swatsisrksur wiwidhah prajah.” Yang artinya, Ia yang menciptakan berbagai ciptaan, menjadikan dari diri-Nya sendiri, diciptakannya mahluk- mahluk hidup yang beraneka ragam, mulai dengan memikirkannya, diciptakannya air, dan meletakkan benih itu (air) kedalamnya.

Dalam iman Kristiani, dikenal ritual pembabtisan, yang juga menggunakan air. Dimana disebut air adalah inti dari simbol oase, di mana di tengah-tengah kekeringan dan pergumulan ditemukan kehidupan, ada sumber air yang hidup. Tersebut pula dalam Yes. 12:3: "With joy you will draw water from the wells of salvation". Disebut pula Air adalah simbol yang ambivalen (kehidupan dan kematian).

Agama Budha, dalam upacara Waisyak juga menggunakan air. Air adalah pelambang kesucian. Dalam tafsir keagamaan kemudian, wajah masyarakat tergantung penjagaan terhadap kualitas air sungainya dan atau mata air. Bahkan perumpamaan dan gambaran surga pun, melibatkan air sebagai simbol atau subyek keindahan dan kebutuhan.
Deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) mensyaratkan setidaknya 80% orang memiliki akses terhadap air bersih. Problemnya, pemerintah tidak sanggup atau belum dapat melaksanakn ini. Kini, baru sekitar 50% penduduk di Indonesia yang sudah mendapatkan akses terhadap air bersih. Sisanya, 50%, belum memiliki akses tersebut. Pertanyaanya, mampukah agama menjawab persoalan ini? Sebab penulis yakin, pemerintah jelas tidak mampu menjawab sampai tahapan praktis problem solver. Ini dibuktikan dengan kondisi perairan kita saat ini.

Pada tahun 2020, diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri sebesar 25% – 30%. Selain itu, aliran sungai sudah mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan, erosi yang berlebihan telah mengakibatkan terjadinya sedimentasi di beberapa waduk yang dibangun di sungai Citarum, Brantas, Serayu, Bendungan Batu Tegi Lampung, dan Bengawan Solo. Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia tampung waduk, termasuk pengambilan air tanah yang berlebihan di beberapa akuifer juga telah mengakibatkan terjadi intrusi air laut dan penurunan elevasi muka tanah.

Sistem sanitasi rumah tangga dan pengolah limbah industri yang buruk juga telah mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah dan sungai, terutama pada musim kemarau, sering banyak penyakit dan kekeringan di mana- mana. Pada musim hujan pun banjir selalu datang. Ini diakibatkan semakin kecilnya daerah resapan, turunnya kapasitas sungai dan rusaknya sistem drainasi internal. Masalah semakin rumit dengan terdesaknya hutan yang sudah dirambah sebagai pemukiman dan berimplikasi langsung menurunnya debit air.

Diperkirakan pada tahun 2025, hampir 3,5 miliar manusia, akan mengalami kekurangan air dan 2,5 miliar manusia akan hidup tanpa sanitasi yang layak. Semua orang berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap pencemaran. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 2 miliar orang kini menyandang risiko menderita penyakit diare yang disebabkan oleh air dan makanan.

Kenapa penulis membuat argumen tentang agama, sebab saat ini kemampuan masyarakat untuk memahami perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim belum terlihat, beberapa peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan (konservasi, pedayagunaan dan penanggulangan daya rusak) air belum menjamin terlaksananya konsep pengelolaan berkelanjutan. Keputusan politis pun, yang diharapkan mampu mengkonservasi air. Justru tidak memihak.

Sebagai contoh Peraturan Pemerintah Nomor 43/2008 tentang air tanah, pada pasal 55 ayat 2 (c) dikatakan bahwa hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah, diperoleh tanpa izin, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari- hari bagi perseorangan apabila kurang dari 100 m kubik per bulan per kepala keluarga dengan tidak menggunakan sistem distribusi terpusat. Aturan ini menyebabkan ekstraksi air tanah akan meningkat dan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi.

Demikian pula standar penggunaan air tanah untuk kepentingan pertanian. Di dalam pasal 55 ayat 3 (b) dinyatakan pembatasan pemakaian tidak lebih dari 2 (dua) liter per detik per kepala keluarga. Angka pemberian air irigasi yang ditetapkan pun berdasar kepala keluarga, bukan berdasar areal pertanian yang diberi air irigasi, menunjukkan ketidaktepatan peraturan dalam penentuan pemberian hak guna air. Seharusnya, fokus peraturan perundangan yang ada lebih memperhatikan kelangkaan air yang saat ini menjadi isu internasional.

Bisa dibayangkan, masa kecil penulis di desa, betapa masyarakat kita tertawa ketika ada yang membeli air mineral dalam botol. Sekarang, baru sekitar 15 tahun, sudah membalik logika penertawaan itu, semua orang desa sudah meminum air galon hasil sulingan yang dibeli, di beberapa tempat justru untuk MCK pun, sudah membayar dan memiliki rekening. Di lain tempat lagi, petani kita berebut air untuk mengaliri sawahnya, ada pula yang kebanjiran hingga terancam gagal panen. Ini membuktikan tata kelola perairan kita sangat kacau. Ini terjadi di desa, apalagi di kota, semacam Jakarta misalnya, panas terik saja tiba- tiba banjir.

Kita saksikan, ekploitasi air tanah guna kepentingan penyediaan air minum mineral juga dilakukan sangat intensif, bahkan produksi air mineral tersebut diekspor ke luar negeri. Padahal menurut Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, pengelolaan sumberdaya air adalah penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Konservasi sumber daya air meliputi upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Pendayagunaan sumberdaya air meliputi upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna.

Pengendalian daya rusak air meliputi upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air. Oleh karena itu, keterpaduan pengelolaan sumberdaya air tidak hanya mencakup keterpaduan sektoral dan parsial, namun juga harus mencakup keterpaduan penyelenggaraan konservasi, pendayagunaan dan penanggulangan daya rusak sumberdaya air.

Sekarang penyelenggaraan pendayagunaan atau pemanfaatan sumberdaya air lebih mendapat perhatian daripada upaya konservasi dan preventif penanggulangan daya rusak. Komponen konservasi dan upaya preventif penanggulangan bencana tidak mendapat perhatian yang sama dengan upaya pemanfaatan sumberdaya air.

Parahnya lagi, sudah terjadi persaingan pendayagunaan atau pemanfaatan air dengan nilai ekonomi sebagai parameternya, maka kehidupan manusia miskin akan semakin terancam, kerentanan sosial dan lingkungan akan semakin meningkat. Upaya konservasi dan mitigasi daya rusak air akan semakin jauh tertinggal. Masyarakat di pinggir- pinggir sungai masih kita saksikan mencuci, mandi, buang air kecil/ besar, bahkan yang tidak kuat membeli air mineral yang semakin hari semakin meningkat harganya, menggunakan air sungai yang sudah kita ketahui bagaimana tercemarnya itu untuk dikonsumsi, setiap hari.

Masalah ini yang kemudian menjadi otokritik bagi agamawan jika tidak mampu menyelesaikan masalah air terkait dengan mata air, atau pun sungai, dari paparan di atas, jelaslah bentuk kegagalan kaum agamawan. Air adalah cermin wajah keberagaaman umat dan masyarakat. Konklusinya, jika kondisi sungai dan mata air sedemikian parah, pantaskah kita disebut sebagai masyarakat yang beragama?

Makalah Endri Y. Disampaikan dalam seminar Peringatan Hari Air, PWPM, auditorium PWM 22 Maret 2010

0 komentar:

Posting Komentar