Selasa, 23 Maret 2010

Hari ini, tepatnya tanggal 22 Maret 2010, sudah dianggap sebagai Hari Air Dunia. Keputusan ini diambil berdasarkan United Nations Conference for Environment and Development (UNCED) dalam konferensinya di Rio de Janairo pada tahun 1992. Penetapan ini dimaksudkan untuk mengingatkan dan menyadarkan masyarakat dunia akan makna dan pentingnya air sebagai bahan dasar keberlangsungan hidup semua makhluk serta peringatan akan semakin langkanya sumber-sumber air yang layak, baik jumlah atau kualitasnya.

Ditinjau dari sudut teologi, semua agama berkeyakinan bahwa air merupakan unsur yang terlebih dahulu ada sebelum kehidupan di bumi tercipta. Air sebagai kebutuhan hidup adalah aksioma. Lebih dari 75% tubuh manusia terdiri dari air.
Air merupakan asal sekaligus sumber kehidupan di alam semesta. Selain sebagai asal dan sumber kehidupan (fungsi biologis), air mempunyai fungsi sosial religius juga yakni, untuk membersihkan dan mensucikan tubuh dan pakaian dari kotoran dan najis, secara harfiah maupun maknawiah.

Hampir semua pembahasan jurisprudensi dalam agama, selalu dimulai dengan pembahasan tentang air dan peran air bagi penyucian diri untuk sarana ibadah. Meski dalam kadar dan takaran tertentu air sangat dibutuhkan, tetapi dalam kondisi dan volume tertentu pula air bisa sangat membahayakan kehidupan. Maka kesadaran akan pentingnya makna air, nilai, pengelolaan, sekaligus daya yang dikandungnya perlu dijalankan sesui perencanaan sebagaimana orang menjalankan perintah agama. Penuh keseimbangan atau tawazun.

Semua ibadah agama, memerlukan air untuk prosesi atau pun proyeksi pelaksanaanya. Semua ajaran agama- agama yang diakaui di Indonesia menempatkan air dalam kerangka atau pun simbol ritualnya, baik sebagai alat atau bahkan subyek peribadatan. Dalam islam, fungsi air bukan sekedar untuk thaharah atau bersuci saja. Di surga (alam akherat) pun, fungsi air ternyata masih sangat penting. Ada sekitar 35 ayat dalam Al- Qur’an yang merupakan gambaran tentang surga dengan air sungai, seperti terdapat dalam surah Al Baqarah ayat 25: "Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan beramal salih, bahwa sesungguhnya untuk mereka itu surga yang mengalir air sungai di bawahnya. Selain sungai, ada sekitar 15 ayat dalam berbagai surah yang menggambarkan surga dengan mata air

Sementara itu, dengan Tri Hita Karana, pemeluk agama Hindu meyakini bahwa untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia ini diperlukan keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan (palemahan) termasuk air. Dalam siaran agama Hindu di http://www.peradah.com, dijelaskan hakekat air adalah benih pertama penciptaan alam semesta. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Veda Smrthi BAB. I Sloka 8 dan 10; ”So Bhidhya ya sarirat/ Swatsisrksur wiwidhah prajah.” Yang artinya, Ia yang menciptakan berbagai ciptaan, menjadikan dari diri-Nya sendiri, diciptakannya mahluk- mahluk hidup yang beraneka ragam, mulai dengan memikirkannya, diciptakannya air, dan meletakkan benih itu (air) kedalamnya.

Dalam iman Kristiani, dikenal ritual pembabtisan, yang juga menggunakan air. Dimana disebut air adalah inti dari simbol oase, di mana di tengah-tengah kekeringan dan pergumulan ditemukan kehidupan, ada sumber air yang hidup. Tersebut pula dalam Yes. 12:3: "With joy you will draw water from the wells of salvation". Disebut pula Air adalah simbol yang ambivalen (kehidupan dan kematian).

Agama Budha, dalam upacara Waisyak juga menggunakan air. Air adalah pelambang kesucian. Dalam tafsir keagamaan kemudian, wajah masyarakat tergantung penjagaan terhadap kualitas air sungainya dan atau mata air. Bahkan perumpamaan dan gambaran surga pun, melibatkan air sebagai simbol atau subyek keindahan dan kebutuhan.
Deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) mensyaratkan setidaknya 80% orang memiliki akses terhadap air bersih. Problemnya, pemerintah tidak sanggup atau belum dapat melaksanakn ini. Kini, baru sekitar 50% penduduk di Indonesia yang sudah mendapatkan akses terhadap air bersih. Sisanya, 50%, belum memiliki akses tersebut. Pertanyaanya, mampukah agama menjawab persoalan ini? Sebab penulis yakin, pemerintah jelas tidak mampu menjawab sampai tahapan praktis problem solver. Ini dibuktikan dengan kondisi perairan kita saat ini.

Pada tahun 2020, diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri sebesar 25% – 30%. Selain itu, aliran sungai sudah mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan, erosi yang berlebihan telah mengakibatkan terjadinya sedimentasi di beberapa waduk yang dibangun di sungai Citarum, Brantas, Serayu, Bendungan Batu Tegi Lampung, dan Bengawan Solo. Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia tampung waduk, termasuk pengambilan air tanah yang berlebihan di beberapa akuifer juga telah mengakibatkan terjadi intrusi air laut dan penurunan elevasi muka tanah.

Sistem sanitasi rumah tangga dan pengolah limbah industri yang buruk juga telah mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah dan sungai, terutama pada musim kemarau, sering banyak penyakit dan kekeringan di mana- mana. Pada musim hujan pun banjir selalu datang. Ini diakibatkan semakin kecilnya daerah resapan, turunnya kapasitas sungai dan rusaknya sistem drainasi internal. Masalah semakin rumit dengan terdesaknya hutan yang sudah dirambah sebagai pemukiman dan berimplikasi langsung menurunnya debit air.

Diperkirakan pada tahun 2025, hampir 3,5 miliar manusia, akan mengalami kekurangan air dan 2,5 miliar manusia akan hidup tanpa sanitasi yang layak. Semua orang berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap pencemaran. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 2 miliar orang kini menyandang risiko menderita penyakit diare yang disebabkan oleh air dan makanan.

Kenapa penulis membuat argumen tentang agama, sebab saat ini kemampuan masyarakat untuk memahami perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim belum terlihat, beberapa peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan (konservasi, pedayagunaan dan penanggulangan daya rusak) air belum menjamin terlaksananya konsep pengelolaan berkelanjutan. Keputusan politis pun, yang diharapkan mampu mengkonservasi air. Justru tidak memihak.

Sebagai contoh Peraturan Pemerintah Nomor 43/2008 tentang air tanah, pada pasal 55 ayat 2 (c) dikatakan bahwa hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah, diperoleh tanpa izin, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari- hari bagi perseorangan apabila kurang dari 100 m kubik per bulan per kepala keluarga dengan tidak menggunakan sistem distribusi terpusat. Aturan ini menyebabkan ekstraksi air tanah akan meningkat dan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi.

Demikian pula standar penggunaan air tanah untuk kepentingan pertanian. Di dalam pasal 55 ayat 3 (b) dinyatakan pembatasan pemakaian tidak lebih dari 2 (dua) liter per detik per kepala keluarga. Angka pemberian air irigasi yang ditetapkan pun berdasar kepala keluarga, bukan berdasar areal pertanian yang diberi air irigasi, menunjukkan ketidaktepatan peraturan dalam penentuan pemberian hak guna air. Seharusnya, fokus peraturan perundangan yang ada lebih memperhatikan kelangkaan air yang saat ini menjadi isu internasional.

Bisa dibayangkan, masa kecil penulis di desa, betapa masyarakat kita tertawa ketika ada yang membeli air mineral dalam botol. Sekarang, baru sekitar 15 tahun, sudah membalik logika penertawaan itu, semua orang desa sudah meminum air galon hasil sulingan yang dibeli, di beberapa tempat justru untuk MCK pun, sudah membayar dan memiliki rekening. Di lain tempat lagi, petani kita berebut air untuk mengaliri sawahnya, ada pula yang kebanjiran hingga terancam gagal panen. Ini membuktikan tata kelola perairan kita sangat kacau. Ini terjadi di desa, apalagi di kota, semacam Jakarta misalnya, panas terik saja tiba- tiba banjir.

Kita saksikan, ekploitasi air tanah guna kepentingan penyediaan air minum mineral juga dilakukan sangat intensif, bahkan produksi air mineral tersebut diekspor ke luar negeri. Padahal menurut Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, pengelolaan sumberdaya air adalah penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Konservasi sumber daya air meliputi upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Pendayagunaan sumberdaya air meliputi upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna.

Pengendalian daya rusak air meliputi upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air. Oleh karena itu, keterpaduan pengelolaan sumberdaya air tidak hanya mencakup keterpaduan sektoral dan parsial, namun juga harus mencakup keterpaduan penyelenggaraan konservasi, pendayagunaan dan penanggulangan daya rusak sumberdaya air.

Sekarang penyelenggaraan pendayagunaan atau pemanfaatan sumberdaya air lebih mendapat perhatian daripada upaya konservasi dan preventif penanggulangan daya rusak. Komponen konservasi dan upaya preventif penanggulangan bencana tidak mendapat perhatian yang sama dengan upaya pemanfaatan sumberdaya air.

Parahnya lagi, sudah terjadi persaingan pendayagunaan atau pemanfaatan air dengan nilai ekonomi sebagai parameternya, maka kehidupan manusia miskin akan semakin terancam, kerentanan sosial dan lingkungan akan semakin meningkat. Upaya konservasi dan mitigasi daya rusak air akan semakin jauh tertinggal. Masyarakat di pinggir- pinggir sungai masih kita saksikan mencuci, mandi, buang air kecil/ besar, bahkan yang tidak kuat membeli air mineral yang semakin hari semakin meningkat harganya, menggunakan air sungai yang sudah kita ketahui bagaimana tercemarnya itu untuk dikonsumsi, setiap hari.

Masalah ini yang kemudian menjadi otokritik bagi agamawan jika tidak mampu menyelesaikan masalah air terkait dengan mata air, atau pun sungai, dari paparan di atas, jelaslah bentuk kegagalan kaum agamawan. Air adalah cermin wajah keberagaaman umat dan masyarakat. Konklusinya, jika kondisi sungai dan mata air sedemikian parah, pantaskah kita disebut sebagai masyarakat yang beragama?

Makalah Endri Y. Disampaikan dalam seminar Peringatan Hari Air, PWPM, auditorium PWM 22 Maret 2010

aku seperti selesai meneguk air dan mencelupkan kepala ke telaga jernih Rumi di Matsnawi Ma'nawi! Setelah demikian jauh berjalan, dekil, dan berkeringat. Ada kesejukan dan kesegaran di setiap kuncup katanya. Imajenasiku menuju suatu makna yang sedemikian ofensif menelikung batin. Oh, Rumi, lihatlah aku menari, memutar keindonesiaan yang koyak ini!

Sesiapa yang melangkah ke arah yang takberarah/Para budiman itu menoleh ke arah yang takberarah/Setiap merpati yang melesak pada mazhab/Merpati ini berpihak pada yang takberpihak/ Kita bukan unggas udara juga bukan piaraan/Bijian kita adalah biji tanpa biji/Sedemikian luas kehidupan (akhirat) kita Sehingga terkoyak kain (jasad) pada pundak (dunia) kita
{Rumi, Matsnawi Ma’nawi, Daftar-e Panjum, bait 350-353}

jalan profetik yang ditempuh para penyepi adalah kebersahajaan mengelola bebunyian yang kemudian diterjemahkan dalam percakapan hati.

Membingkai perbincangan atman dari "aku" terdalam inilah proyeksi sunyata, kemutlakan yg hidup. Tanpa suara tanpa api adalah hakekat menerima suara dan cahaya sebagaimana mestinya sebagaimana adanya. Tidak mengadakan dan meniadakan. Bukan pula "usaha" atau "pengingkaran".

hari ini manajemen keindonesiaan hati kita sedang diuji, tapi ketahuilah, di semua orang yang hatinya mengendonesia, terpetakan ada kota ada desa di dalamnya, ada kemakmuran sekaligus kemiskinan daerahnya, maka bermukimlah di hati yang permai, yaitu hati yang berani bersikap dan berpihak! Bukan hati yang kota tapi berkata desa. Katakanlah selaras dengan hatimu.

sekiranya problem hidupmu mengecambah sebagaimana berbatangnya buah kacang hiaju yang disirami tiaptiap sore, disitulah pertanyaan sekaligus seruan mengemuka; "pertanda kedewasaan!" Sebab hidup memang semakin tua semakin sulit kawan.

sebab petualangan itu, mencari sunyi. Jika berpetualang mencari hiburan maka ketidakkrasanan yg akan membelenggu. Bersunyi itu mencari pencerahan, maka tersebutlah dia sebagai pendusta ketika mengaku sudah tercerahkan tapi tak pernah menempuh jalan sunyi. Adakah desa kita yg bernama Indonesia ini sedang menjadi jalan sunyi?

sejalan dengan pikiran kita atas perjalanan pulang ini, sawah mulai dg hijau padi menghampar, di hembusan semilir angin ladang ini pula kita pernah membingkai percakapan hati. Bukankah telah terbilang cerita tentang batinku yg remuk oleh berbagai penolakan, kini kau kabarkan pujaanku telah benar- benar lepas dari kesejatian? Mari melaronkan diri mengejar lampu.

pada sebuah ketakutan yang terbagai atas 4fase kemanusiaan itu, yang paling ditakutkan sebenarnya adalah yang paling berani dilanggar dan esensi kulminasi (tertinggi atas kemukminan). Seberapa berani kita melawan takut, sebesar itulah kenikmatan kita atas sebuah keberhasilan membahagiakan hati. Tidak ada ketakutan sebelum kita mengalami kausalitas penderitaan maka, melepas takut berarti melepas belenggu penderitaan.

mematung di sebuah balkon, takzimku terpusat pada langit barat yg kuning sore ini, mendung menghitam ke arah timur hingga deras hujan menimpa kaca nako. Merasakan buliran pisau air itu, tasbihku mengucur sederas percikan dan ketirisan pikiran yang basah. Hujan sore ini aku berdoa, wahai kekasih, kuikat mendung dan kuta...rik keemasan langit barat itu, untuk plafon kamarkamar santri di desa kami.

mulanya adalah duka dan pada mulanya adalah tumpukan keperihan.Demikianlah tradisi setiap pesantren& para pembabat alas.Hidup yg dimulakan dg kebahagiaan akan dibuntukan masalah2 sepele.Maka aku nasehatkan kepada kalian,anak2 zaman.Keraslah melatih disiplin diri &menggembleng jiwa pencari,sebab titik tertinggi kebahagiaan ada di ujung jalan itu. Jika ingin bahagia setiap sore hari,bekerja keraslah tiap2 pagi.

Kalimat yg saya Posting di Page FB "Komunitas Sastra Profetik"
06 Februari jam 14:47

Telah kutuntaskan mahyong dalam puncak pejam dan kedamaian pulang, dikawal kesantunan binatang buas. Telah berbentuk bintang berwarna merah tua identitas akun catur onlineku. Melambangkan kemahiran kelola bidak dan membangun kematangan strategi. Telah kutempati pula ruang VIP setelah membayar 1 M chip di meja poker.

[dengan nyepi ini aku main game]

Telah mengunggun sesal pula, seharian memikirkan sari, yang kini mulai kecanduan kopi. Digambarnya tanah longsor dan jalanan antri, ya, inilah lukisan hidup dalam transformasi pencerapan! Seharian aku mencari sari, lewat potongan- potongan game, kesempurnaan penundukan dan pencarian.

Bandar Lampung, Februari 2010

Minggu, 21 Maret 2010

Puisi Estetikalkulator; Madzab Baru Puisi Indonesia


“Saya hanya berusaha dekat dengan permasalahan yang ada di depan mata, saya ingin spontanitas yang jujur.” Demikian deskripsi Binhad Nurohmat terhadap upaya yang dapat disebut terobosan baru di ranah perpuisian Indonesia.

Meski Samuel Johnson (1709 –1784 ) seorang penyair, eseis, novelis, dan kritikus Inggris ini bilang, puisi adalah seni menggabungkan keindahan alam. Dan banyak sekali yang beranggapan puisi dan penyairnya termasuk manusia elit dalam strata sosial, tidak bagi Binhad. Semua tercermin dalam puisi- puisi mbelingnya, sebuah avant garde dan pendobrak tatanan mapan. Ditelisik dari judul bukunya saja, sudah cukup melumerkan senyum; Kuda Ranjang, Bau Betina, Sastra Perkelaminan, dan Demonstran Sexy. Memancing sudut tabu untuk kemudian diukir dalam bentuk yang lembut, memunculkan pengakuan akan kebenaran kalimat yang dianggap kasar dan tabu itu, menjadi benar- benar kebenaran binal. Liar dan akrab tetapi jarang diungkap dalam teks- teks kesusastraan. Penemuan kebenaran kasar yang rumit.

Kini, penyair beragama “Islam Gembira” yang produktif menulis ini membahasakan audiens, dan terkadang dirinya (dalam aku lirik), dan atau subjek (orang ketiga), aku obyek, dengan sebutan rakyat.

Sastra Cyber

Lihatlah tulisan terbarunya di postingan FB atau blog, yang saya yakin betul ketika tiba saatnya nanti pasti juga dibukukan, Binhad menulis; Rakyat sekalian, tuhan itu ateis! atau Rakyat sekalian, kenapa ada ledakan bom di Jakarta? Tolong jawab saya. Ini serius!

Ketus dan lucu, nakal tetapi benar jika direnungkan. Pada kesempatan lain lagi dia menulis puisi yang diberinya judul "Rakyat Menggugat Penyair"; Kamu bikin puisi kabut pagi ketika rakyat tertindas/Puisimu indah/tapi kabut pagi tak bisa membela rakyat//Kamu bikin puisi batu sungai ketika rakyat kelaparan/Puisimu indah/tapi batu sungai bukan makanan rakyat.

Cukup banyak dan berserakan puisi spontan Binhad yang kesemuanya menafsir transendensi dan realitas kedirian dengan kocak sekaligus congkak. Membangkang keruwetan dan kerumitan puisi. Jika direnungkan memang semuanya benar, meski terkesan kurangajar, nakal, kenes, lihatlah ini; Rakyat sekalian, tuhan mampir di bar dangdut? atau yang ini Tuhan tak pernah sembahyang. Percayalah!

Mungkin kalimat- kalimat puitis ini kurang membumi dan berbunyi jika usaha untuk mengejawantah realitas kerakyatan puisi tidak ditempuhnya secara intens, kontinyu, dan berkemajuan.

Tulisan ini hanya upaya mencari pembaruan metoda ungkap berpuisi, yang embrionya sejak era tahun 70an sudah mulai disuarakan Remy Sylado, Saneto Juliman, Dkk. dalam maenstream bertema "puisi mbeling". Dapat dibilang Binhad adalah penyair kekinian yang memiliki nalar aktual, tampil beda, dan berani membawa genre puisi baru.

Hal ini diperkuat dengan gabungan antara kemampuan mencipta dan membahasakan audiens dan aku lirik atau orang ketiga dalam majas kata (rakyat) dan tepat ketika digunakan dan diposisikan dalam kalimat untuk maksud (apa- siapa- bagaimana). Inilah capaian kontemplasi Binhad yang layak diapresiasi sebagai penerus gagasan, dapat dibilang penyempurna tentang puisi mbeling.

Puisi Estetikalkulator

Kemudian eksperimen Binhad yang cukup fenomenal yaitu puisi estetikalkulator.
Puisi yang ketika menulisnya mungkin harus sambil memegang kalkulator, atau kalau pembaca pandai berhitung, sedikit berpikir keras untuk larut dalam perhitungan angka- angka dalam puisinya. Lebih mudah ketika kita membacanya sambil memegang kalkulator juga, sekaligus mengecek kemampuan berhitung dan kecermatan Binhad.

Lihat saja ini, puisi yang diberi judul "Rakyat Tidur"; Rakyat tidur rata-rata 6 jam sehari. Maka, dlm 1 minggu rakyat tidur 42 jam, dlm 1 bulan rakyat tidur 168 jam, dlm 1 tahun rakyat tidur 2.016 jam (sekitar 3 bulan), dlm 10 tahun rakyat tidur 20.160 jam (2,3 tahun). Rakyat berusia 60 tahun sekurangnya pernah tidur 120.960 jam (13,8 tahun), waktu selama ini lebih panjang ketimbang 2 periode masa jabatan presiden.

Atau puisi tentang percintaan, yang juga dimaknai bercinta yang sebenarnya atau ML "Rakyat Make Love"; Jika rakyat make love (ML) 3 kali seminggu, maka rakyat ML 12 kali sebulan dan 144 kali setahun. Jika rata2 rakyat menikah sejak usia 25 thn, maka rakyat usia 50 thn rata2 pernah ML 3.600 kali. Jika jumlah pasutri 100 jt, maka terjadi 300 jt ML seminggu. Statistik ini tidak termasuk jumlah rakyat ML pra-nikah, poligami/poliandri, free-sex, dan yg selingkuh. Lanjutkan! Lebih sexy lebih baik!

Semua persoalan disoroti, semua kejadia aktual dipuisikan dengan metode estetikalkulator dari ngomong, shalat, minum, berak, bom, dan sebagainya, yang benar- benar merakyat dan dialami sehari- hari oleh rakyat. Dan tentu, kita harus sambil memegang kalkulator jika ingin menikmatinya, kemudian setelah selesai membaca, saya berani memastikan, menyembul senyum puas.

Inilah gaya khas penyair Binhad, yang sebenarnya mampu mematahkan defenisi klasik tentang puisi, sekaligus membuka ruang baru untuk puisi estetikalkulator.

Mungkin kemudian hari, puisi bukan hanya milik tukang ojek, sopir, buruh dan semacamnya sebagaimana dalam film “Poetry on the Road” atau sekedar mata pelajaran siswa bahasa dan sastra Indonesia. Melainkan juga dapat digunakan untuk soal cerita mata pelajaran matematika. Misalnya dengan pertanyaan, berapakalikah presiden SBY tidur jika dia berusia 93 tahun 4 bulan 11 hari? Lalu dibawah pertanyaan itu ditulis keterangan, gunakan rumus puisi "Rakyat Tidur" karya Binhad Nurohmat.

Film Pembuktian

Salah satu pemikir yang pendefenisiannya tentang puisi masih saja selalu dikutip sampai sekarang adalah Ralph Waldo Emerson(1803-1882) esais, penyair, sekaligus filsuf Amerika yang dalam Tarigan, (1986:4) menjelaskan bahwa puisi merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa dan menggerakkanya, mencari kehidupan dan alasan yang menyebabkannya ada. Kiranya relevan dengan arti puisi yaitu, “membuat” dan atau “pembuatan”. Sebab, lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana- suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah (Aminuddin, 1987:134).

Penyair atau pengrajin kata, tentu akan tertinggal kereta zaman ketika puisi hanya sebagai alat tekstual penyampai pesan. Bahkan secara empirik “dunia tersendiri” para penyair itu dipatahkan oleh terobosan Binhad dalam kerja- kerja mempuisikan rakyat dan merakyatkan puisi. Terbukti dengan sudah dibuatnya produk kesenian yang tetap estetis, tanpa mencerabut puisi dari makna dasarnya.

Meski bukan yang pertama kali film yang berkisah tentang puisi dan deklamasinya, “Poetry on the Road” besutan Binhad, Oky Arfie, dan mahasiswa program doktor Sastra Indonesia dari Universitas Tasmania, Australia, Andy Fuller jelas berbeda dengan film “Lari dari Blora” dan “Yang Muda Yang Bercinta”nya Almarhum Rendra.

Jika WS. Rendra dalam film itu membacakan sajak- sajaknya sendiri (puisi tampil sebagai selingan), memiliki plot, dan alur cerita layaknya film kebanyakan. Binhad dalam filmnya yang berdurasi sekitar 50 menit itu justru membuktikan bahwa puisinya benar- benar dari rakyat oleh rakyat. Murni film puisi. Tanpa artis yang dikasting dan dibekali kemampuan akting.

Tukang ojek sepeda ontel yang membacanya dibonceng sang penyair adalah audiovisual apik untuk membuktikan bahwa rakyat jelata pun mengerti dan mampu membaca puisi.

Melampaui Akar Kepenyairan

Proses kajian akan aliran dalam apresiasi seni dikenal dengan istilah ohne alles interesse (bebas kepentingan sepenuhnya) alias kontemplatif. Dimana capaian kepenyairan Binhad Nurrohmat yang silang pendapatnya termasuk paling ramai di harian Pikiran Rakyat, 5/04/2009, 19/04/2009, 3/05/2009, dan 17/05/2009 oleh Damhuri Muhammad, Yopi Setia Umbara, dan Khudori Husnan terkait kumpulan puisi Demonstran Sexy (2008), polemik ini, yang kemudian mendasari penulis menarik akar kesejarahan penyair Binhad.

Sejarah sastra Indonesia selalu menemu kesimpulan, sebagaimana hasil penelitian Kratz (1987) yang menunjukan bahwa pada 1983, sastrawan Indonesia yang menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia banyak berasal dari kedua kiblat, yakni Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%). Ditinjau dari sisi inilah, pribadi Binhad cukup menarik, pertama dia memiliki darah dan akar pendidikan pesantren di Jawa sekaligus mukim dan menemukan “pencerahan” (kontemplasi kepenyairannya) di Lampung (Sumatera).

Kedua, jika puisi- puisi Binhad didedah dalam nalar practical criticism A. Richards (1893-1979) khususnya dalam kitab Demonstran Sexy, mampu melepas teks dari setiap konteks bahkan “terbebas dari jerat pendefenisian puisi yang sudah mapan.”

Ketiga, lihatlah kekenesan Binhad yang sekarang mulai sibuk mengkaji urai ejaan lama, sebagai bentuk pembangkangan atas realitas hamburan kata, banyak yang kemudian menyebutnya sebagai puisi. Dengan kepemilikan tradisi unik kontemplatif ini, status- status Binhad di akun FB misalnya, menemukan karakter dan eksistensinya sendiri. Saya dan mungkin banyak yang sepakat, status dalam FB yang selalu diperbarui bagi orang semacam Binhad, Isbedy Setiawan, (dan ribuan orang lainya) adalah puisi. Lihatlah nyentriknya puisi- puisi Binhad dalam statusnya, membuat kita sering tersenyum getir sambil nyletuk ;”dancuk.. dancuk.. dasar edan!”

Mungkin inilah titik mula pertama kali saya menemukan ruh kesejatian dari kesempurnaan puisi mbeling di era 70an itu (sebab saya belum lahir, hanya membacanya dari majalah aktuil di perpustakaan kakek), hingga menjadikan puisi sebagai bacaan pokok untuk hiburan sekaligus tamasya batin. Membaca puisi- puisi Binhad bisa mengernyitkan dahi karena berpikir, tersenyum getir sebab tersindir, tertawa sendiri karena konyol, dan saya sangat terpuaskan.

Puisi- puisi Binhad termasuk status- statusnya itu, seperti nikotin dan kafein, bikin kecanduan. Semoga keliarannya tidak menggiring pada eksperimen- eksperimen lain, seperti ejaan lama semacam “oe untuk “u”, “J” untuk “y” yang cenderung kuno dan mentah ketimbang pembaruan bentuk puisi estetikalkulator-nya. Saya sebagai pembaca dan penggila buku, dengan tulisan ini memesan kumpulan puisi estetikalkulatornya meski entah sudah dipikirkan akan diterbitkan atau belum, buku itu rencananya mau saya gunakan buat rumus soal cerita matematika anak tetangga, atau justru buku itu bisa menambah khasanah puisi Indonesia yang benar- benar avant garde.

meminang mimpi, disenyawa jalanan beraspal menuju bukit.

Ya! Di balik gunung itu, dusunku. Kota tua yang pernah jaya dengan lada dan cengkeh.

Pernah suatu ketika memboncengmu, susuri jalan berbatu, terjatuh aku ditikungan rumahmu. Luka sikut lenganku oleh waktu, hingga memborok, berdarah, ngemu nanah, berbelatung. Serupa sakit pada hati pada cacimaki pada Sari, pacarku.

Pintalan gombale mukio pudar. Dzikirku menyatu dalam luka yang tercipta. Mobil yg kita kendarai menubruk kucing, mati. Kau pun pergi, dalam hati dan pikiran, menjadi dzat keabadian.

Hai! Jum’at keberkatan, ijinkan aku khutbah di atas tubuh telanjang.

Kalianda, Maret 2009

Sabtu, 20 Maret 2010

telah kuseduh kopi sendiri, sekental daki, yang kian melebam pada kulit putihku ini, Sari. Kini semua orang meragukan kemanusiaanmu yang semakin hari semakin bebal. Apa lagi yang kau tunggu? Bukankah mobil jemputan kita sebentar lagi datang?
Dipanggul haruharu, ditabur koin dan bunga, berkaki manusiamanusia kampung.

Ahai, bukankah kebergunaan perempuan itu ketika dipuji, selepas menyedukan kopi lelakinya? Pun lelaki, ketika mampu membuat perempuannya tersenyum dan bergelanyut manja.

Kita adalah peminum kopi Lampung yang fanatik

Aku telah datang lagi di kota ini, sayang. Melampungkan khutbah di muara yang melegenda tentang kutukan buaya putih.

Jika kau sempat ke kota tak terurus ini, singgahlah beberapa malam, mencerecap aroma air payau sambil membakar kepiting batu sebesar kepala. Dalam majelis sunyinya, kan kau pahami kesejatian Sari, gadis pujaanku yang kini entah dimana.

Pada hangat pagi
Di bawah pohon trembesi yang permai, kupimpin majelis mendiskusikan hari;
“tentang determinisme dan berbagai kemelekatan.”
Ketahuilah, menuju kota ini seperti menuju pelangi, menyulam peristiwa dan berharihari menelikung hati di dalam kotanya, niscaya mampu mencipta bianglala sendiri. Meski kita semakin terjajah mencari Sari.

Kalianda, 2009

Jumat, 19 Maret 2010

Kiblat Penyair

04.44
0

Epik I 2006 (Tentang Bibir)

"Buah aren ini sebagai pepeling yang mampu menghentikan minum kopiku," katanya, mengomentari kolak menu berbuka. Aku hanya mampu melihatnya takzim sambil merokok, entah sudah yang keberapa batang.

"Oya, ini kuberikan kau tongkat bergagang emas," ungkapnya serupa guru sufi tua.
Dadaku bergetar hebat sebelum kursiku tersungkur. Kafe dimana pernah dilukiskan penyair kami dengan bulan pun rebah di mejanya. Dan penyairku yang baru datang berkunjung menaiki pesawat senja, begitu cakap kalimatnya mengurai eloknya potensi kota.

Setelah menyeruput betapa harum dan nikmatnya kopi Kalianda. Segera ia ralat kalimat tentang kesempurnaan lezat kenyalnya kolang- kaling kami.
“Sungguh! Kotamu begitu kaya kudapan lezat.” Senyumnya.

Lalu kami menuju jembatan layang Panjang, mereguk kenikmatan
legitnya buah durian.

Selepas isya kami menyantap nasi dengan pindang dan sruit asli Kota Bumi. Berhamburanlah puja puji.

“Jika kau masih punya waktu, ke arah pantai sana, kita bakar kerapu, dengan senang hati aku mengantarmu,” kataku menunjuk tambak dan kerambak. “ Tempat itu, paling romantis untuk menyantap petis di atas perahu, tempat dimana masih dengan mudah mendapati kepiting batu sebesar kepala atau memancing rajungan hanya dengan tali rapia. Pulau itu masih dalam kecamatan Punduh Pidada.

Oh ya, jika kau ingin udang kita harus ke pinggiran laut Kota Agung, arahnya agak jauh ke sana. Kupastikan kau terbengong puas dengan rasa dan harga. Aku yakin puisimu mampu mengucur seperti liur.”

Epik II 2007 (Negeri Penyair)

"Lurus saja terus!" tegasnya, ketika akan kubelokan setir selagi ada tempat parkir.
Semua orang pahamlah kiranya di Jakarta, begitu sulit mencari tempat untuk parkir.
"Kita berbuka di warung pojok TIM dengan teh poci saja, yang jelas mampu ingatkan pada peladangan yang baru diipuk petani, aku sudah rindu aroma lumpur sawah kampungmu. Aku dirundung kangen wangi kembang kopi, di ruang para pengais gagasan itu aku mudah membawa kotamu dalam batinku." Kata penyair cantik dengan tetap menatap kosong.

Aku heran; bukankah yang mengajak berbuka ini aku, kenapa kau paksakan tempatmu? Sedemikian egoiskah engkau wahai penyair! Tidak paham kau rupanya. "Kau turun di sini saja, naik taksi atau tetap di mobil, aku mau berbuka dengan es jeruk kelapa." Kataku berganti memaksa kehendak di tikungan Senayan.

Jangan pernah berjalan bersama penyair, jika kau tak berani melawan perintah. Sebab puisi terindah adalah kulminasi pelanggaran. Begitu pernah dikatakannya. Sampailah kedai aku dan penyair cantik itu, berbuka bareng. Lalu kami mesra bicara tentang keindahan- keindahan pelanggaran yang kemudian kami tertawakan setengah bodoh. Ya, selalu tertawa setengah bodoh itulah hidup sang penyair.

Di kota yang panas berlanjutlah ceritaku tentang hikayat kampung;

“bayi bayi yang terlahir dari kampung kami
tangisan pertamanya adalah puisi
belajar bicara dan permulaan jalannya adalah sajak
kampung kami, semua orangnya pandai bebandung
petani, buruh, karyawan, pedagang, pelacur, pegawai, pejabat, penjahat, kiyai, wartawan, pendeta, biksu, pedanda, nelayan, pengusaha, tekhnisi, akademisi, penganggur, penjudi, tengkulak, rentenir, juragan, birokrat, tekhnokrat,
berbaur melampung di kehidupannya
dan segala macam profesi orang kampung kami ketika merantau disebut pujangga. Tersebutlah kampung kami sebagai negeri puisi, pemukiman para penyair.”

Tertawa kami sambil serempak berkata; “Jangan pernah berjalan bersama penyair, jika kau tak berani melawan perintah. Sebab puisi terindah adalah kulminasi pelanggaran.” (ha.. ha…lepas bebas tawa kami)

Wajahnya yang cantik menatapku, lalu sendu sekali penyair cantik berkata; “jika saja aku terlahir dan mukim di kotamu, mungkin aku sudah jadi penyair besar ya? Betapa tololnya aku yang baru sadar dengan keinginan yang binal, aku mau tinggal di rumah panggungmu, apa dulu kau sebut, Nuwo Sesat? Yah, setahun lagilah setelah selesai sarjana.”


Epik III 2008 (Estetika Pantai)


Memandang dari pucuk Pesagi ini lurus ke arah barat daya. Ketemu sketsa wajah urban yang melengkungi katulistiwa, serupa bianglala di pagi hari. Terbentuk pula siluet hatihati kita, tepat di sana, di arah barat daya. Jika kau berpaling ke timur, barisan orang ditrotoar mengeja dengan tekun arah barat daya. Meski dari timur semua bermula. Dalam kata sastra tak ada arah selatan atau pun utara, semua berkiblat. Timur atau Barat, Lampung atau Jakarta.

Berdiri di timur, aku hanya ingin bersamamu lagi, memandang setiap arah dengan waktu, seperti keindahan pantai siang hari yang dipaksa mentaati pariwisata. Yang hampir semua, dari Krui sampai Batang Hari pernah kita kunjungi

“Ketaatan pada pariwisata itulah perompak kecantikan kesejatian seni pantai,” katamu suatu senja, “padahal kami, yang kau sebut orang ibukota dan kaya, mencari keaslian berapapun biayanya. Pantai di negerimu, luar biasa indah! Pahamlah aku kenapa tidak terkenal dan sepi di hari biasa, sebab karcis dan penjaga gerbang yang wajahnya merongos itu memperlakukan duka pada setiap teluk estetisnya!” Hemm, penyair cantikku bersabda seperti orang dinas saja.

Di balkon lantai tiga aku berkata;
“lihatlah dari jendela ini pohon itu
nampak pendek bukan?
padahal itu setinggi enam belas kaki.
daunnya terus ditiup angin,
menggoyang.
membawa masa bermain kanak-kanak di kampung.
selalu saja, rutin setiap sore aku memandanginya.
mirip rindangnya pohon trembesi di ujung jalan Pangeran Antasari, perempatan tempat menunggu para pejalan
untuk pergi ke Bakauheni. Penuh rekuh, pepohonan dan kenangan kampung kecilku, yang esok kita kunjungi adalah puisi. Tepat dimana orang dan burung melagukan sagata. Pun lidah fasih para minan sesikun melarang kita bugundang.”

selenguh apa uapanmu itu tetap saja seperti bau tanah basah usai gerimis
sekeras apapun sendawamu, tetap saja membuatku tahan duduk menyetir sebagai pengantar. Berkunjung kagumi keindahan alam kami.

Epik IV 2009 (Tarikat Kesunyian)

oh, tumpukan hari yang letih
datanglah pengharapan panjang dari jalan-jalan berlubang.
Sepanjang Way Panji- Campang Tiga,
melewati Napal sebagai pekon para petapa.
Sebagai pencari, pernah pula kita tempuh jalan,
dari Gayam ke Simpang Lima,
dari Jabung ke Gunung Pelindung ke Sukadana.
dari Sekampung ke Metro ke Bumi Ratu Nuban

Melingkar kotakota, melintas desadesa, membawa segores luka muda. Mengitari Menggala dan ratapi kedangkalan sungai Tuba. Juga pernah kita daki Rajabasa dan Pesagi, menekur di pucuk pada batu tengah danau gelagahnya. Yang penuh warahan mistis itu, tempat pertama kali kau siapkan kumpulan manuskrip Umpu Ngegalang Paksi. Lalu betapa khidmat kau terpejam di Puncak Sukarami, Liwa, makam Umpu Bejalan Diway.

Ah, cinta telah menyigi kedirian.

Percayalah, aku selalu mencintaimu, seperti terjaga menunggu adzan subuh!
Cinta itu serupa sayupsayup tarkim dari surau di kaki gunung Rajabasa. Maka kupendam rasa meski sakit. Sesakit lerenglereng gunung kami yang dibakar dan dibabat untuk menanam padi. Ketahuilah, aku tetap mencintaimu, sebagaimana yatimpiatu rindu bapak-ibunya nyanyikan lagu pengantar tidur. Meski tak kujawab tanya dan tidak terucap kata.

aku akan tetap mencintaimu seperti anak perambah yang berjuang dengan berani mencangkul tradisi perawatan hutan kami.

Meskipun sekarang, nalar kami mirip kebun kopi dan kakau yang meranggas pada musim kemarau

Aku mencintaimu tanpa ungkapan dan pengetahuan. Sengaja kurawat, biarlah aku setia menunggu adzan subuh tanpa suka tanpa duka.

Sari, demikian pernah kau sebut nama pada setiap ujung karya, lekaslah pahami kelanjutan hidup kita yang semakin tua, demikian kukata sebulan sebelum kau tiada.
letih sudah kulukis kenang sisa perjalanan kita, bukit-bukit yang dikeruk tengkulak itu sudah lama mengaduh.

Sekedar lamat, tafakur, aku terus mengingat.

Di sepanjang pantai Pesisir Selatan, kita pernah memfundamenkan hati.
Bermotor di bening pasirnya sambil bertukar kunyahan jagung bakar
Sari, kau ingat bebatuan dan rerimbun pohon jati pada ruang kehampaan itu dulu, di wisata batu Granit yang juga lintasi kebun karet kebun karet Tanjung Bintang? Tempat kita mengampar samak, menggelar permusyawaratan batin. Berdiskusi sepanjang daun untuk khutbah nikah.

Mengingat itu semakin tipis petualangan jiwa keriput ini
Kayu nangka pepadun di lukisan kata kian luluh, kiranya tak ada waktu lagi terwujud mimpi kita menikah di atas Gajah, lalu ke menara siger untuk mengintip kapal- kapal. Bermalam di Way Muli menikmati gunung krakatau ketika pagi sambil menyeruput kopi Kalianda yang kita gemari dalam satu cawan yang sama warna, wahai Sari. Penyairku yang cantik. Air mataku jatuh, sebelum kita dimandikan air terjun Way Lalaan.

Tarikatku menaiki kesunyian dan mengendarai zaman yang kian lapuk. Sambil berharap ada pengganti Sari. Penyair cantik yang datang ke Lampung di tepi hari. Berniat selesaikan trilogi kelampungan yang elok

yang mangkat sebelum satupun mimpi bersama kami tercipta.

Lampung- Jakarta, 2006-2009

Puisi karya Endri Y ini termasuk nominasi di Krakatau Award 2009