Sabtu, 20 Maret 2010

telah kuseduh kopi sendiri, sekental daki, yang kian melebam pada kulit putihku ini, Sari. Kini semua orang meragukan kemanusiaanmu yang semakin hari semakin bebal. Apa lagi yang kau tunggu? Bukankah mobil jemputan kita sebentar lagi datang?
Dipanggul haruharu, ditabur koin dan bunga, berkaki manusiamanusia kampung.

Ahai, bukankah kebergunaan perempuan itu ketika dipuji, selepas menyedukan kopi lelakinya? Pun lelaki, ketika mampu membuat perempuannya tersenyum dan bergelanyut manja.

Kita adalah peminum kopi Lampung yang fanatik

Aku telah datang lagi di kota ini, sayang. Melampungkan khutbah di muara yang melegenda tentang kutukan buaya putih.

Jika kau sempat ke kota tak terurus ini, singgahlah beberapa malam, mencerecap aroma air payau sambil membakar kepiting batu sebesar kepala. Dalam majelis sunyinya, kan kau pahami kesejatian Sari, gadis pujaanku yang kini entah dimana.

Pada hangat pagi
Di bawah pohon trembesi yang permai, kupimpin majelis mendiskusikan hari;
“tentang determinisme dan berbagai kemelekatan.”
Ketahuilah, menuju kota ini seperti menuju pelangi, menyulam peristiwa dan berharihari menelikung hati di dalam kotanya, niscaya mampu mencipta bianglala sendiri. Meski kita semakin terjajah mencari Sari.

Kalianda, 2009

0 komentar:

Posting Komentar